BAB I
PEMFIGUS
1.1 PENDAHULUAN
Pemfigus adalah penyakit vesikobulosa atau penyakit kulit berlepuh adalah
kelainan kulit yang ditandai dengan timbulnya ruam primer berupa vesikel dan bula.
Vesikel atau bula terjadi akibat gangguan kohesi sel-sel intradermal atau adesi
dermo-epidermal junction yang dapat menyebabkan terjadinya influks cairan. Pada
dasarnya pemfigus dapat dibagi menjadi 4 tipe utama, yaitu : pemfigus vulgaris,
pemfigus eritematous, pemfigus foliaceus dan pemfigus vegetans.(2,3)
1.2 SEJARAH
Sejarah penemuan pemfigus, dan
berbagai bentuknya, tercantum dalam tulisan klasik Lever tentang Pemfigus dan
Pemfigoid. Baik pemfigus vulgaris maupun pemfigus foliaceus, keduanya merupakan
satu spektrum penyakit. Berbagai hal tentang spektrum penyakit ini telah diberi
nama yang unik, namun karena gambaran penyakit ini berupa cairan, maka penyakit
yang diderita oleh pasien biasanya lebih berat dari nama yang diberikan.
Sehinga penderita pemfigus vulgaris bisa menunjukkan penyakit yang lebih lokal,
satu bentuk yang disebut dengan pemfigus vegetans of Hallopeau. Bentuk ini
mungkin meluas dan menyatu menjadi pemfigus of Neumann. Terakhir, pada penyakit
yang lebih berat, bisa muncul pemfigus vulgaris di seluruh tubuh. Serupa dengan
hal ini, penderita pemfigus foliaceus juga bisa menunjukkan kelainan yang lebih
lokal, yakni pemfigus eritematosus. Namun penderita ini seringkali berubah menjadi
pemfigus foliaceus yang menyebar lebih luas.
Temuan
Beutner dan Jordon pada tahun 1964 tentang antibodi di dalam sirkulasi terhadap
permukaan sel keratinosit pada sera penderita pemfigus vulgaris merupakan
pelopor pemahaman kita bahwa pemfigus vulgaris adalah penyakit autoimun
spesifik jaringan pada kulit dan mukosa. Pada akhirnya, hasil kerja kedua ahli
ini telah membawa penemuan autoantibodi pada penyakit bullosa autoimun kulit
yang lain.(5)
1.3 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi pemfigus pada pria
dan wanita kurang lebih sebanding. Usia rata-rata
saat onset penyakit sekitar 50 – 60 tahun; namun, kisarannya cukup lebar, dan
penyakit ini bisa mulai muncul pada usia lanjut dan anak.(5)
1.4 INSIDENS
dan PREVALENSI
Insidens pasti dan prevalensi pemfigus
vulgaris dibanding pemfigus foliaceus sangat tergantung pada populasi yang
diteliti. Pemfigus vulgaris lebih sering dijumpai pada ras Yahudi dan mungkin
pada penduduk di dataran Laut Tengah. Predominasi ras yang sama tidak dijumpai
untuk pemfigus foliaceus. Oleh sebab itu, pada wilayah yang banyak dihuni oleh
ras Yahudi, insidens pemfigus vulgaris dan juga rasio pemfigus vulgaris
dibanding pemfigus foliaceus cenderung lebih tinggi. Sebagai contoh, di
Yerusalem insidens pemfigus vulgaris diestimasi sebesar 1,6 per 100.000
populasi, sedangkan di Finlandia, di mana ras Yahudi dan orang dari Laut Tengah
sangat sedikit, insidens jauh lebih rendah, yakni 0,76 per 1 juta populasi. Di
samping itu, di New York dan Los Angeles, rasio kasus pemfigus vulgaris
terhadap pemfigus foliaceus sekitar 5 : 1, sementara di Finlandia sekitar 0,5 :
1. Di Perancis, insidens pemfigus vulgaris sebesar 1,3 kasus per 1 juta
populasi/tahun dan pemfigus foliaceus sebesar 0,5 kasus per 1 juta
populasi/tahun.(5)
1.5 ETIOLOGI dan PATOGENESA
Mikroskop elektron
Pemeriksaan ultrastruktural terhadap bulla pada
pemfigus terfokus pada gambaran desmosome, karena bagian ini merupakan
perbatasan perlekatan sel dengan sel yang paling menonjol pada epitel skuamus
kompleks. Penelitian awal terhadap lesi pemfigus vulgaris menunjukkan hilangnya
kontak membran sel dengan sel di antara perbatasan desmosome yang masih intak,
yang kemudian diikuti pemisahan dan hilangnya desmosome. Namun, penelitian lain
menunjukkan bahwa larutnya desmosome atau tidak terbentuknya desmosom
mengakibatkan timbulnya bulla. Sebagai contoh, biopsi kulit yang tidak terkena
pada penderita pemfigus vulgaris menunjukkan kerusakan desmosome dan penurunan
jumlah desmosome. Di samping itu, pemberian serum pemfigus vulgaris pada biakan
keratinosit ternyata dapat mempengaruhi struktur desmosome karena menyebabkan
penarikan tonofilamen yang normalnya melekat pada plak desmosome.
Serupa
dengan hal ini, pada lesi pemfigus foliaceus, hasil pemeriksaan mikroskop
elektron melaporkan adanya abnormalitas desmosome pada tahap akantholsis awal.
Sebelum terjadi hal ini nampaknya tonofilamen terlebih dulu akan ditarik dari
plak padat desmosome. Kemudian terjadi penurunan atau hilangnya desmosome.
Pemeriksaan mikroksop elektron ini sulit diinterpretasikan menyangkut kapan hal
ini terjadi, namun semua temuan tersebut menunjukkan bahwa, minimal pada
beberapa stadium akantholisis, desmosome akan mengalami kerusakan.
Immunopatologi
Immunofluoresensi.
Karakteristik pemfigus vulgaris adalah ditemukan adanya autoantibodi IgG terhadap permukaan sel
keratinosit. Autoantibodi ini pertama kali ditemukan di dalam sera penderita
melalui pemeriksaan immunofluoresensi direk dan tidak lama setelahnya berhasil
ditemukan pada kulit penderita dengan pemeriksaan immunofluoresensi direk. Pada
dasarnya, semua penderita pemfigus vulgaris atau pemfigus foliaceus aktif
menunjukkan hasil positif pemeriksaan immunofluoresensi direk untuk IgG
permukaan sel keratinosit di kulit sekitar lesi (Gbr. 59-1A). Diagnosis
pemfigus masih dipertanyakan jika hasil pemeriksaan immunofluoresensi direk
negatif. Tergantung pada substrat yang dipakai untuk pemeriksaan
immunofluoresensi direk, lebih dari 80% penderita pemfigus memiliki IgG
permukaan sel antiepitel yang ada di dalam sirkulasi (Gbr. 59-1B). Penderita
dengan kelainan lokal awal dan mereka yang telah mengalami remisi kemungkinan
besar memperlihatkan hasil negatif pada pemeriksaan immunofluoresensi direk.
Penderita
pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus menunjukkan temuan pemeriksaan
immunofluoresensi direk dan indirek yang sama untuk IgG di permukaan sel
epidermis pada seluruh lapisan epidermis. Oleh sebab itu, kita tidak mungkin
membedakan kedua penyakit ini hanya berdasar pola immunofluoresensi. Namun,
substrat yang dipakai untuk mendeteksi antibodi pemfigus yang melekat pada
immunofluoresensi direk sangat mempengaruhi pemeriksaan ini. Secara umum,
esofagus monyet lebih sensitif untuk mendeteksi antibodi pemfigus vulgaris, dan
eosfagus marmut merupakan substrat yang paling baik untuk mendeteksi antibodi
pemfigus foliaceus.
Ada
korelasi positif namun kurang kuat antara titer antibodi anti permukaan sel
yang ada di dalam sirkulasi dengan aktivitas penyakit pada pemfigus vulgaris
dan pemfigus foliaceus. Meski korelasi ini dapat dijumpai secara umum, dan
meski pasien dalam kondisi remisi sering menunjukkan remisi serologik dengan
hasil immunofluoresensi direk dan indirek negatif, ternyata aktivitas penyakit
pada pasien secara individual tidak selalu berkorelasi dengan titer antibodi.
Oleh sebab itu, dalam menangani pasien ini dari hari ke hari, pemantauan
aktivitas penyakit jauh lebih penting daripada pemantauan titer antibodi.
Baru-baru
ini, antigen-specific enzyme-linked
immunosorbent assays terbukti lebih sensitif dan spesifik (yakni dapat
membedakan pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus) daripada
immunofluoresensi, dan titernya berkorelasi jauh lebih baik daripada korelasi
titer immunofluoresensi direk dengan aktivitas penyakit.
Pemfigus eritematosus
adalah bentuk lokal
dari pemfigus foliaceus
dengan
temuan immunofluoresensi direk yang khas yakni
immunoreaktan, biasanya IgG dan C3, di zona membrana basalis kulit muka yang
eritem. Immunoreaktan ini dijumpai selain IgG permukaan sel epidermis.
Antigen Pemfigus
Fakta immunologik dan kloning molekuler
menunjukkan bahwa antigen pemfigus adalah desmogleins, suatu glikoprotein
transmembran desmosome (organela yang penting untuk perlekatan antar sel). Mikroskop immunoelektron
berhasil menentukan letak antigen pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus di
permukaan sel keratinosit, yakni pada perbatasan desmosom.
Penentuan
karakteristik antigen pemfigus di tingkat molekuler berhasil mengkonfirmasi
kalau antigen ini adalah molekul yang ada di dalam desmosom. Pemeriksaan
immunopresipitasi dan immunobloting dengan ekstraks dari biakan keratinosit
atau epidermis menunjukkan bahwa antigen pemfigus foliaceus (dan juga antigen
fogo selvagem) adalah desmoglein 1, suatu glikoprotein transmembran desmosom
dengan berat molekul 160 kDa.
Kloning
molekuler antigen pemfigus vulgaris yang mengkode cDNA berhasil menemukan
desmoglein 3, yakni isoform desmoglein lain yang dikode oleh gen berbeda. Semua
penderita pemfigus vulgaris memiliki antibodi anti-desmoglein 3, dan sebagian
dari penderita ini juga memiliki antibodi anti-desmoglein 1. Penderita pemfigus
vulgaris dengan lesi lebih dominan di membrana mukosa cenderung hanya memiliki
antibodi anti-desmoglein 3, sementara mereka dengan lesi mukokutan biasanya
memiliki antibodi anti desmoglein 3 dan anti-desmoglein 1. Status kedua
antibodi ini pada sebagian penderita pemfigus vulgaris berbeda dengan status
antibodi tunggal pada penderita pemfigus foliaceus, yang hanya memiliki
antibodi terhadap desmoglein 1.
Desmoglein
1 dan 3 memiliki kaitan erat dengan anggota golongan supergen cadherin. Anggota
asli dari golongan ini (seperti E-cadherin) adalah molekul adhesi sel
homofilik, transmembran, yang tergantung pada kalsium. Diduga, desmoglein
memiliki fungsi serupa dengan desmosome. Sera pemfigus foliaceus dan pemfigus
vulgaris akan mengikat epitop yang sesuai dan sensitif calsium pada desmoglein
1 dan 3, sehingga kemungkinan mempengaruhi fungsi perlekatan yang sensitif
kalsium. Meski molekul permukaan
sel lain, seperti reseptor
asetilkoline, dapat mempengaruhi adhesi, namun
keterlibatannya dalam patofisiologi pemfigus masih
kontroversial.
Patofisiologi akantholisis
Autoantibodi pemfigus baik dari penderita pemfigus
vulgaris maupun penderita pemfigus foliaceus, keduanya bersifat patogenik.
Munculnya pemfigus vulgaris pada neonatus menunjukkan bahwa IgG ibu dapat
melintasi plasenta dan menimbulkan penyakit. Namun, pemfigus foliaceus pada
neonatus sangat jarang terjadi.
Pada
dasarnya, pemfigus vulgaris neoatus terjadi karena perpindahan IgG secara pasif
ke tubuh janin. Penelitian eksperimen transfer pasif serupa membuktikan bahwa
IgG pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus mengakibatkan akantholisis pada
lapisan suprabasal dan granuler dari epidermis, jika ditambahkan ke kulit pada
biakan organ. Akantholisis yang dipicu oleh antibodi pada sistem ini terjadi tanpa
peran komplemen atau sel inflamasi.
Bukti
lain yang lebih jelas tentang patologi pemfigus melalui autoantibodi berasal
dari penelitian transfer pasif IgG pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus ke
bayi tikud. Pada tikus timbul bulla dan erosi yang secara klinis dan histologis
mirip tipe pemfigus. Fiksasi komplemen tidak perlu dilakukan untuk menimbulkan
penyakit ini, dan berdasar observasi ini, fragmen immunoglobulin Fab monovalen
sekalipun akan bersifat patogenik pada tikus ini.
Penelitian
lain menunjukkan bahwa autoantibodi penyebab patologi pada pemfigus adalah
antibodi yang ditujukan pada desmoglein 1 dan 3. IgG yang afinitasnya telah
dimurnikan dari sera pemfigus vulgaris pada domain ekstrasel desmoglein 3 dapat
menyebabkan akantholisis suprabasal, suatu temuan histologik yang khas untuk
lesi pemfigus vulgaris, jika disuntikkan ke bayi tikus. Di samping itu, domain
ekstraseluler desmoglein 3 dapat menyerap sifat patogenik antibodi di dalam
sera pemfigus vulgaris pada bayi tikus. Serupa hal ini, domain ekstraseluler
desmoglein 1 juga dapat menyerap semua antibodi patogen dari sera pemfigus
foliaceus, dan antibodi yang afinitasnya telah dimurnikan pada pemfigus
vulgaris bersifat patogenik. Terakhir, model pemfigus vulgaris aktif pada hewan
eksperimen dapat dibuat dengan memberi imunisasi tikus yang tidak dapat
mentoleransi desmoglein 3 (yakni tikus dengan gen desmoglein 3 telah mengalami
delesi) untuk membentuk respon imun terhadap desmoglein 3. Setelah pemindahan
secara pasif dari tikus yang telah diimunisasi ke tikus normal, maka tikus
normal secara klinis dan histologik menunjukkan lesi pemfigus vulgaris yang
khas dan memiliki antibodi anti-desmoglein 3 pada kulit dan sera.
Data
ini dengan kuat menunjukkan bahwa autoantibodi pemfigus vulgaris dan pemfigus
foliaceus terhadap desmoglein 3 dan 1, akan menyebabkan timbulnya bulla pada
penyakit ini. Data terbaru menunjukkan bahwa autoantibodi ini juga mempengaruhi
fungsi adhesi antar sel pada desmoglein atau ikut berperan dalam pembentukan
desmoglein. Jika memang secara patofisiologi pemfigus berasal dari antibodi ini
yang secara langsung menghambat fungsi desmoglein, maka tindakan mempengaruhi
fungsi desmoglein dengan cara lain dapat menimbulkan proses mirip pemfigus.
Hipotesis ini baru-baru ini diuji melalui rekayasa genetik terhadap tikus
dengan sasaran delesi pada gen desmoglein 3. Fenotip tikus ini sangat mirip
dengan penderita pemfigus vulgaris, dengan bulla suprabasal muncul di mukosa
oral dan kulit. Data ini sesuai dengan pendapat bahwa autoantibodi akan secara
langsung menyebabkan hilangnya adhesi keratinosit.
Fakta
lain bahwa inaktivasi desmoglein menyebabkan timbulnya bulla pemfigus berasal
dari penelitian impetigo bullosa dan staphylococcal
scalded-skin syndrome, yang disebabkan oleh toksin eksfoliatif yang
dilepaskan oleh Stafilokokus aureus. Desmoglein 1 adalah reseptor spesifik
untuk toksin eksfoliatif. Enzim secara proteolitik akan memecah desmoglein 1,
sehingga timbul bulla yang identik dengan yang dijumpai pada pemfigus
foliaceus. Sehingga inaktivasi desmoglein 1 dapat menyebabkan timbulnya bulla
yang identik dengan bulla pada pemfigus foliaceus, dan temuan ini menunjukkan
bahwa antibodi anti-desmoglein 1 pada penderita pemfigus foliaceus juga
menginaktivasi desmoglein 1.
Meski
antibodi anti-desmoglein pada pemfigus bisa secara langsung menginaktivasi
desmoglein pada desmosome, antibodi ini kemungkinan juga mempengaruhi
perlekatan desmoglein ke desmosome. Melalui cara ini, pada akhirnya terjadi
penurunan desmosome pada target desmoglein tertentu.
Jika
penurunan atau inaktivasi isoform desmoglein menyebabkan timbulnya bulla,
lantas mengapa bulla pada pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus memiliki
lokasi jaringan spesifik yang tidak berkorelasi dengan tempat di mana antibodi
tersebut berikatan seperti ditunjukkan oleh pemeriksaan immunofluoresensi ?
Pada pemfigus foliaceus misalnya, antibodi anti-desmoglein 1 menempel di
seluruh bagian epidermis dan membrana mukosa, namun bulla hanya muncul di
epidermis superfisial. Gambaran yang berlawanan ini dapat dijelaskan melalui
kompensasi desmoglein, seperti tampak pada Gambar 59-2. Konsep kompensasi
desmoglein berasal dari asumsi bahwa autoantibodi terhadap satu isoform
desmoglein hanya akan menginaktivasi isoform ini saja dan akan mengekspresi isoform
lain pada area yang sama dan dapat mengkompensasi adhesi. Kompensasi desmoglein
juga menjelaskan mengapa pemfigus foliaceus neonatal sangat jarang dijumpai,
meski antibodi anti-desmoglein 1 dapat melintasi plasenta; pada kulit neonatus,
berbeda dengan kulit dewasa, terjadi ekspresi desmoglein 3 bersamaan dengan
desmoglein 1 di lapisan epidermis superfisial. Kebenaran kompensasi desmoglein
telah terbukti dengan temuan bahwa tikus transgenik dengan ekspresi desmoglein
3 di lapisan epidermis superfisial yang dipercepat ternyata dapat terproteksi
dari timbulnya bulla akibat perpindahan pasif IgG pemfigus foliaceus.
Respon imun abnormal dan gen respon imun
Dibanding populasi yang sesuai, penderita pemfigus
vulgaris memiliki antigen major histocompatibility complex (MHC) class II
dengan frekuensi lebih tinggi. Di antara ras Yahudi Ashkenazi yang menderita
pemfigus vulgaris, didapatkan dominasi haplotype HLA-DR4 melalui pemeriksaan
serologik, sedangkan pada kelompok etnis lain yang menderita pemfigus vulgaris
lebih sering dijumpai allele DQ1. Kendati demikian, hubungan dengan kerentanan
terkena penyakit ini nampak semakin menonjol pada analisis allele MHC pada tingkat
genetik untuk menentukan urutan asam amino molekul permukaan sel yang dikode
oleh allele tersebut. Penderita dengan serotipe DR4 hampir selalu memiliki
allele tak lazim yang disebut DRB1*0402, dan penderita dengan serotype DQ1
hampir selalu memiliki allele yang jarang dijumpai yakni DQB1*0503.
Allele
MHC ini mengkode molekul permukaan sel yang dibutuhkan untuk presentasi antigen
ke sistem imun; sehingga, diduga molekul MHC klas II yang berhubungan dengan
penyakit ini dapat mempresentasikan peptide desmoglein 3 ke sel T. Temuan yang
sejalan dengan hipotesis ini adalah peptida tertentu dari desmoglein 3, yang
diduga cocok untuk kantung ikatan peptida DRB1*0402, mampu merangsang sel T
pada tubuh pasien. Di samping itu, pada kantung ikatan ini, jika satu asam
amino bermuatan negatif yang spesifik untuk subtipe DRB1*0402 dari DR4 berubah
menjadi asam amino muatan positif (yang khas ada pada subtipe DR4 yang lain)
melalui proses mutagenesis yang ditujukan pada tempat tersebut, maka peptida
desmoglein 3 tidak lagi efektif untuk dipresentasikan ke sel T. Penelitian lain
mengkonfirmasi bahwa respon imun pada pemfigus terbatas pada peptide desmoglein
tertentu dan gen respon imun yang mengkode molekul presentasi antigen.
Penelitian ini menunjukkan bahwa populasi tertentu lebih rentan terkena
pemfigus vulgaris karena susunan genetik gen respon imun yang mereka miliki.(5)
BAB II
MANIFESTASI KLINIS
II.1 Pemfigus Vulgaris
Adalah salah satu penyakit berlepuh
dengan pembentukan bula diatas kulit normal dan selaput lendir. Penyebab
pastinya belum diketahui, diduga berhubungan dengan autoimun.
Pemfigus vulgaris merupakan bentuk
yang tersering dijumpai (80% semua kasus). Penyakit ini tersebar diseluruh
dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras. Dapat terjadi pada dekade kelima
dan keenam, dapat juga terjadi pada semua umur. Frekuensi pada pria dan wanita
sama.(4,2)
II.1.1 Patologi
Temuan histopatologik yang khas untuk pemfigus
vulgaris adalah bulla suprabasiler disertai akantholisis (Gbr. 59-7). Tepat di atas
lapisan sel basal, sel epidermis akan kehilangan kontak sel dengan sel yang
normal dan timbullah bulla. Seringkali sejumlah keratinosit (akantholitik)
dijumpai di dalam rongga bulla. Sel basal tetap melekat ke membrana basalis,
namun tidak menempel dengan sel di sekitarnya; akibatnya, sel ini nampak
seperti “deretan batu nisan”. Biasanya, lapisan epidermis bagian atas (1 – 2
lapis sel di atas sel basal) tetap intak, karena sel ini masih menjaga
kemampuan adhesi sel. Pemfigus vegetans tidak hanya memperlihatkan akantholisis
suprabasal, namun juga papillomatosis papilla dermis dan berhentinya
pertumbuhan epidermis ke dermis, disertai hiperkeratosis dan pembentukan
skuama-krusta. Di samping itu, lesi pemfigus vegetans mungkin juga
memperlihatkan abses intraepidermis yang terdiris atas eosinofil. Lesi pemfigus
vulgaris awal mungkin memperlihatkan spongiosis eosinofilik.(5,1)
II.1.2 Gejala klinis
KULIT. Lesi kulit
pada pemfigus vulgaris jarang terasa gatal, namun seringkali terasa sakit. Lesi
primer pemfigus vulgaris adalah bula kendur, yang bisa muncul di permukaan
kulit mana saja (Gbr. 59-3A). Biasanya bulla muncul pada kulit yang nampak
normal, namun bisa pula muncul di atas kulit yang eritem. Bulla baru biasanya kendur
atau dalam waktu singkat menjadi kendur. Karena bulla ini rapuh, maka bulla
yang masih intak mungkin jarang dijumpai. Lesi kulit yang paling sering muncul
pada pasien ini adalah erosi, sering terasa nyeri, selanjutnya menjadi bulla
yang pecah. Erosi ini seringkali cukup luas, karena memiliki kecenderungan
menyebar ke perifer (Gbr. 59-4A). Dokter dapat mendapatkan temuan yang khas
pada penderita pemfigus dengan bulla aktif dengan cara memberikan di sebelah
lateral kulit yang nampak normal di sebelah perifer lesi aktif. Hasilnya,
epidermis akan terkelupas, yang dikenal juga dengan nama Nikolsky sign (Gbr. 59-4B). Tanda ini tidak spesifik untuk pemfigus
vulgaris atau pemfigus foliaceus, namun merupakan temuan yang khas pada
penyakit bullosa aktif yang lain, seperti pemfigoid bullosa dan eritema multiforme.
Pada
pasien tertentu, erosi cenderung menyebabkan timbulnya krusta dan jaringan
granulasi yang banyak (Gbr. 59-5); yakni, pasien menunjukkan lesi vegetating.
Tipe lesi ini cenderung lebih sering muncul di area intertriginosa, di kulit
kepala, atau muka (Gbr. 59-5A). Pada pemfigus vegetans of Hallopeau, lesi
vegetating dijumpai pada permulaan lesi (Gbr. 59-5B). Sebelum ditemukannya terapi
yang efektif untuk pemfigus, prognosis pasien ini tidak seburuk seperti
penderita tipe pemfigus vulgaris yang lebih sering dijumpai. Pada pasien lain
(seperti mereka yang menderita pemfigus vegetans of Neumann), erosi pemfigus
vulgaris yang biasa cenderung berubah menjadi vegetatif. Respon tipe vegetatif
juga bisa muncul pada lesi tertentu yang cenderung resisten terhadap terapi dan
tetap bertahan untuk jangka waktu lama pada satu tempat. Sehingga lesi
vegetating nampaknya merupakan satu pola reaktif kulit terhadap gangguan
autoimun pada pemfigus vulgaris, dengan area kulit tertentu menunjukkan
kecenderungan lebih besar untuk membentuk vegetating.(5,1)
MEMBRANA MUKOSA. Pada
mayoritas pasien, erosi membrana mukosa yang terasa nyeri merupakan tanda
pemfigus vulgaris yang menonjol dan mungkin merupakan satu-satunya tanda yang
telah muncul selama kurang lebih 5 bulan sebelum muncul lesi kulit. Membrana
mukosa yang paling sering terkena adalah rongga mulut, yang mengenai hampir
semua penderita pemfigus vulgaris dan sering merupakan satu-satunya area yang
terkena (Gbr. 59-3B). Bulla yang masih intak jarang dijumpai, diduga karena
bulla bersifat rapuh dan mudah pecah. Erosi yang tersebar dan seringkali luas
bisa muncul di bagian manapun dari rongga mulut, meski mungkin paling sering di
mukosa bukkal. Erosi ini dapat menyebar sampai mengenai faring dan laring yang
akhirnya suara menjadi serak. Seringkali erosi ini sangat mengganggu sehingga
pasien tidak bisa makan atau minum dengan benar.
Membrana
mukosa di bagian tubuh lain juga bisa terkena erosi yang terasa nyeri; di
antaranya konjungtiva, anus, penis, vagina, dan labia. Bahkan esofagus pernah
dilaporkan terkena pada kasus yang jarang.(5)
II.1.3 Histopatologi
Didapatkan
gambaran bula intraepidermal suprabasal dan sel-sel epitel yang mengalami
akantolisis pada dasar bula menyebabkan tes Tzanck positif. Tes Tzanck berguna
menentukan adanya sel-sel akantolitik, bukan diagnosis pasti penyakit pemfigus.
Dengan pemeriksaan mikroskop electron diketahui permulaan perubahan patologik
berupa perlunakan segmen intraseluler. Juga dapat dilihat kerusakan desmosom
dan tonofilamen sebaagai peristiwa sekunder.
Temuan
yang khas berupa akantolisis, bentukan bula dan celah intra epidermis dan
adanya sel akantolitik yang melapisi bula dan didalam rongga bula.(5,1)
II.1.4 Imunologi
Pada
tes imunofloresensi langsung didapatkan antibody interseluler tipe IgG dan C3.
Pada tes imunofloresensi tidak langsung di dapatkan antibody pemfigus tipe IgG.
Tes yang pertama lebih terpercaya daripada tes ke dua, karena telah menjadi
positif pada permulaan penyakit, sering sebelum tes kedua menjadi positif dan
tetap positif dalam waktu yang lama meskipun penyakitnya telah membaik.
Antabodi
pemfigus ini rupanya sangat spesifik untik pemfigus. Kadar titernya umumnya sejajar
dengan beratnya penyakit dan akan menurun dan menghilang dengan pengobatan
kortikosteroid.(5)
II.1.5 Diagnosa Banding
Pemfigus vulgaris dibedakan dengan
dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa. Dermatitis herpetiformis dapat
mengenai anak dan dewasa, keadaan umumnya baik, keluhannya sangat gatal, ruam
polimorf, dinding vesikel/ bula tegang dan berkelompok dan mempunyai tempat
predileksi. Sebaliknya pemfigus terutama terdapat pada orang dewasa, keadaan
umumnya buruk, tidak gatal, bula berdinding kendur dan biasanya generalisata.
Pada gambaran histopatologik dermatitis herpetiformis, letak vesikel/ bula di
subepidermal.(5)
II.2 Pemfigus Foliaceus
Adalah satu bentuk pemfigus yang memberi
gejala klinis berupa vesikel-vesikel yang berdinding tipis yang mudah pecah.
Penyebab belum jelas diduga suatu proses autoimun dan terjadi pada umur 40-50
tahun dengan frekuensi antara pria dan wanita sama. Gejalanya tidak seberat
pemfigus vulgaris.(4,2)
II.2.1 Patologi
Histopatologi bulla yang masih dini pada
penderita pemfigus foliaceus memperlihatkan akantholisis (hilangnya kontak
antar sel) tepat di bawah stratum korneum dan lapisan granuler (Gbr. 59-8A).
Stratum korneum seringkali terlepas dari permukaan lesi ini. Lapisan epidermis
yang lebih dalam, di bawah lapisan granuler, masih tetap intak. Temuan lain
yang sering dijumpai adalah pustula subepidermis, disertai neutrofil dan sel
akantholitik epidemis di dalam rongga bulla (Gbr. 59-8B). Temuan histologik ini
sering tidak dapat dibedakan dengan impetigo bullosa. Pemfigus eritematosus
memiliki temuan histologik yang identik dengan pemfigus foliaceus. Seperti
halnya lesi pemfigus vulgaris, lesi pemfigus foliaceus yang masih sangat dini
juga memperlihatkan spongiosis eosinofilik.(5)
II.2.2 Gejala
Klinis
KULIT. Lesi klinis
yang khas untuk pemfigus foliaceus adalah erosi berskuama, berkrusta, sering di
atas dasar yang eritem. Pada penyakit yang masih dini dan lokal, lesi biasanya
berbatas tegas dan tersebar menurut distribusi seboroik, seperti muka, kulit
kepala, dan tubuh bagian atas (Gbr. 59-6A). Lesi primer berupa bulla kendur
berukuran kecil seringkali samar dan sulit ditemukan. Penyakit ini mungkin
tetap lokal selama bertahun-tahun, atau mungkin tumbuh dengan cepat menjadi
kelainan yang menyeluruh, sehingga menjadi eritroderma eksfoliativa (Gbr.
59-6B). Paparan sinar matahari dan/atau panas dapat menyebabkan eksaserbasi aktivitas
penyakit. Penderita pemfigus foliaceus sering mengeluhkan rasa nyeri dan
terbakar pada lesi kulit. Berbeda dengan penderita pemfigus vulgaris, mereka
penderita pemfigus foliaceus jarang, bila memang ada, yang mengalami lesi pada
membrana mukosa, bahkan pada penyakit yang menyeluruh.
Istilah
yang diberikan untuk pemfigus endemik di Brazil, fogo selvagem (dari bahasa Portugis yang artinya “api yang ganas”),
menunjukkan beberapa aspek klinis dari penyakit ini : rasa terbakar pada kulit,
eksaserbasi penyakit akibat paparan sinar matahari, dan lesi berkrusta yang
membuat pasien seolah-olah telah mengalami luka bakar.(5)
II.3 Pemfigus
Eritematous.
Sinonim Senear-Usher syndrome.
Pemfigus eritematosus adalah bentuk lokal
dari pemfigus foliaceus. Lesi berskuama dan berkrusta pemfigus foliaceus yang
khas muncul pada area malar muka dan area seboroik yang lain. Pemfigus
eritematosus bisa tetap lokal selama bertahun-tahun, atau berubah menjadi
pemfigus foliaceus yang lebih menyeluruh. Jika ada aspek pemfigus eritematosus
yang unik, maka temuan itu adalah gambaran immunopatologi yang muncul lebih
dini. Di samping itu, banyak penderita pemfigus eritematosus menunjukkan temuan
serologik curiga suatu systemic lupus
erythematosus, terutama adanya antibodi antinukleus, meski sebagian kecil
pasien dilaporkan memang menderita kedua penyakit ini secara bersamaan.
II. 4 Pemfigus Vegetans
Pemfigus vegetans ialah varian jinak
pemfigus vulgaris dan sangat jarang ditemukan. Penyebab belum jelas, diduga
autoimun. Lebih banyak menyerang usia muda dan frekuensi antara pria dan wanita
sama.
- Klasifikasi
Terdapat
2 tipe ialah:
1.
Tipe Neumann
2.
Tipe Hallopeau (pyodermite vegetante)
- Gejala klinis
Tipe Neumann
Biasanya menyerupai penfigus
vulgaris, kecuali timbulnya pada usia lebih muda. Predileksi di muka, aksila
genetalia eksterna dan daerah intertrigo yang lain. Khas terdapat bula-bula
kendur, menjadi erosi kemudia menjadi vegetati dan proliferative papilomatosa
terutama daerah intertrigo. Sering ditemukan lesi oral. Perjalanan penyakit
lebih lama dari pemfigus vulagaris, dapat lebih akut, dengan gambaran pemfigus vulgaris lebih dominan dan dapat
fatal.
Tipe Hallopeau
Perjalanan penyakit kronik, dapat
seperti pemfigus vulgaris dan fatal. Lesi primer berupa pustule-pustul yang
bersatu, meluas ke perifer, menjadi vegetative dan menutupi daerah yang luas di
aksila dan perineum. Di dalam mulut dapat terlihat gambaran khas granulomatosis
seperti beledu.
- Histopatologi
Tipe
Neumann
Lesi
dini sama seperti pada pemfigus vulgaris, kemudian timbul proliferasi
papil-papil ke atas, pertumbuhan ke bawah epidermis, dan terdapat abses-abses
intraepidermal yang hampir seluruhnya berisi eosinofil.
Tipe
hallopeau
Lesi permulaan sama dengan tipe
Neumann, terdapat akantolisis suprabasal, mengandung banyak eosinofil, dan
terdapat hiperplasi epidermis dengan abses eosinofilik pada lesi yang
vegetatip. Pada keadaan lebih lanjut tampak papilomatosis dan hyperkeratosis
tanpa abses.
- Pengobatan
Sama
seperti pemfigus vulgaris.
- Prognosis
Tipe
Hallopeau lebih baik karena cenderung sembuh.
II. 3 Pemfigus yang dipicu oleh
obat
Meski ada laporan kasus sporadis tentang pemfigus
yang berhubungan dengan penggunaan beragam obat, namun yang paling signifikan
adalah hubungan penyakit ini dengan penicillamine, dan mungkin juga captopril.
Prevalensi pemfigus pada pemakai penicillamine diestimasi sekitar 7%. Pemfigus
foliaceus (termasuk pemfigus eritematosus) lebih sering dijumpai daripada
pemfigus vulgaris pada pasien yang diobati penicillamine ini, meski keduanya
bisa terjadi. Temuan pemeriksaan immunofluoresensi direk dan indirek adalah
positif pada sebagian besar pasien ini. 3 penderita pemfigus foliaceus yang
dipicu oleh obat dan seorang penderita pemfigus vulgaris yang dipicu oleh obat
menunjukkan adanya autoantibodi terhadap molekul sama yang terlibat dalam
pemfigus sporadis, yakni desmoglein 1 dan desmoglein 3. Oleh sebab itu, dengan
pemeriksaan immunofluoresensi dan immunokimia, penderita pemfigus yang dipicu
oleh obat mirip dengan pemfigus sporadis.
Baik
penicillamine maupun captopril keduanya mengandung grup sulfhydryl yang mungkin
berinteraksi dengan grup sulfhydryl pada desmoglein 1 dan/atau 3, sehingga
menyebabkan timbulnya pemfigus, baik secara langsung mempengaruhi molekul
adhesi ini, atau yang lebih mungkin, mengubah molekul ini sehingga menjadi
lebih bersifat antigenik. Pemberian kedua obat ini juga dapat menimbulkan
disregulasis respon imun yang semakin menyeluruh, sehingga timbul autoantibodi
yang lain seperti pada myasthenia gravis. Sebagian besar, namun tidak semua
penderita pemfigus yang dipicu oleh obat bisa mengalami remisi setelah mereka
menghentikan minum obat penyebab.
Penyakit terkait
Myasthenia gravis dan/atau thymoma telah dikaitkan
dengan pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus. Sekitar separo kasus pemfigus
yang berkaitan adalah vulgaris; separo yang lain adalah foliaceus atau
eritematosus. Namun, sebagian besar data ini dilaporkan sebelum ditemukannya
pemfigus paraneoplastik sebagai satu kelainan terpisah. Oleh sebab itu, meski
thymoma menunjukkan hubungan yang jelas dengan pemfigus vulgaris dan pemfigus
foliaceus, namun bisa pula berhubungan dengan pemfigus paraneoplastik.
Perjalanan myasthenia gravis dan pemfigus nampaknya tidak saling tergantung
satu sama lain. Demikian juga, abnormalitas thymus bisa muncul lebih dulu atau
setelah onset pemfigus. Abnormalitas thymus bisa mencakup thymoma jinak atau
ganas dan hiperplasia thymus. Irradiasi thymus atau thymectomy, meski jelas
bermanfaat bagi myasthenia gravis, tidak akan memperbaiki aktivitas penyakit
pemfigus. Meski hubungan ini dilaporkan pada minimal 30 kasus, namun temuan
thymoma atau myasthenia gravis pada penderita pemfigus vulgaris atau pemfigus
foliaceus masih tetap jarang.
Meski
sangat jarang terjadi, pemfigus vulgaris atau pemfigus foliaceus telah
dikaitkan dengan pemfigoid bullosa pada pasien yang sama. Terakhir, pemfigus
vulgaris jarang berubah menjadi pemfigus foliaceus, dan juga sebaliknya,
seperti ditentukan berdasar kriteria klinis, histologis dan immunokimia.
BAB III
TERAPI DAN PROGNOSIS
Sebelum ditemukannya terapi glukokortikoid,
pemfigus vulgaris hampir selalu fatal, dan pemfigus foliaceus berdampak fatal
pada sekitar 60% pasien. Pemfigus foliaceus hampir selalu fatal pada pasien
lanjut usia dengan gangguan medis lain yang menyertai.
Pemberian
glukokortikoid sistemik dan penggunaan terapi immunosupresif telah meningkatkan
prognosis penderita pemfigus secara dramatis; namun, pemfigus tetap merupakan
penyakit yang dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Infeksi
sering menyebabkan kematian, dan karena immunusupresi yang timbul akibat terapi
penyakit aktif, maka terapi justru sering menjadi faktor yang memperberat. Dengan
terapi glukokortikoid dan immunosupresif, mortalitas (akibat penyakit atau
terapi) penderita pemfigus vulgaris setelah 4 – 10 tahun sebesar 10% atau
kurang sedangkan untuk pemfigus foliaceus mungkin lebih kecil.
Pada
umumnya disepakati bahwa pemfigus vulgaris, meski pada awalnya hanya terbatas
pada area tertentu, harus diobati sejak pertama muncul, karena pada akhirnya
lesi akan berubah menyeluruh, dan prognosis tanpa terapi sangat jelek. Di
samping itu, kemungkinan lebih mudah untuk mengendalikan penyakit yang masih
awal daripada penyakit yang telah menyeluruh dan mortalitas lebih tinggi jika
terapi terlambat diberikan.
Karena
pemfigus foliaceus bisa bersifat lokal selama bertahun-tahun, dan prognosis
tanpa terapi sistemik masih bagus, maka penderita pemfigus tipe ini tidak perlu
diberi terapi sistemik; pemberian glukokortikoid topikal mungkin sudah cukup.
Namun, jika penyakit bersifat aktif dan menyeluruh, maka terapi pemfigus
foliaceus pada umumnya sama seperti pemfigus vulgaris.
Pemberian
glukokortikoid sistemik, biasanya prednison, merupakan terapi utama untuk
pemfigus. Dulu, terutama sebelum ada terapi immunosupresif adjuvant, dosis awal
prednison yang direkomendasikan untuk terapi sangatlah tinggi. Namun sekarang,
sebagian pihak merekomendasikan dosis setinggi itu, dan banyak pihak merasa
kalau dosis sedang atau rendah, terutama jika diberikan dalam bentuk kombinasi
dengan terapi immunosupresif dan bila perlu dengan toleransi aktivitas sebagian
penyakit sisa, akan menimbulkan komplikasi yang lebih sedikit dan mortalitas
lebih rendah. Setelah aktivitas penyakit
dapat dikontrol, penurunan dosis prednison secara bertahap
hingga
dosis 2 hari sekali akan menurunkan insidens efek
samping glukokortikoid.
Meski
belum ada penelitian dengan kontrol yang dilakukan, sebagian besar penulis
merasa kalau obat immunosupresif, seperti mycophenolate mofetil, azathioprine
dan cyclophosphamide, memiliki efek mengurangi kebutuhan steroid, menurunkan
insidens efek samping terapi, dan dapat meningkatkan jumlah remisi. Regimen
terapi sering dimulai dengan obat immunosupresif dan prednison dosis rendah
hingga sedang, tergantung aktivitas penyakitnya, meski sebagian penulis
menyatakan agar pertama kali menentukan apakah penyakit tersebut memberi respon
terhadap terapi glukokortikoid saja. Pada setiap kasus, jika ada kontraindikasi
pemberian glukokortikoid, jika glukokortikoid tidak dapat mengontrol penyakit,
atau jika dosis rendah yang dibutuhkan untuk meminimalkan komplikasi steroid
ternyata tidak efektif, maka pasien harus mendapat terapi adjuvant, biasanya
berupa obat immunosupresif.
Hasil
yang diperoleh dengan pemberian prednison dan obat immunosupresif pada
penderita pemfigus vulgaris, meski tidak mengendalikan penyakit, ternyata
sangat memuaskan. Sebagai contoh, pada penelitian terhadap 29 pasien yang
diterapi prednison dan azathioprine, sekitar 50% menunjukkan remisi klinis dan
serologik dan terapi dihentikan selama rata-rata follow-up 4 tahun. Banyak
diantara pasien ini dianggap sembuh. Hanya 1 pasien pada penelitian ini
meninggal dunia karena komplikasi terapi. Aktivitas penyakit pada sebagian
besar pasien dapat dikendalikan dengan baik.
Mycophenolate
mofetil, khususnya, telah menunjukkan efek yang cepat dalam menurunkan titer
antibodi pemfigus dan menurunkan aktivitas penyakit, bahkan pada pasien yang
penyakitnya tidak responsif terhadap azathioprine. Karena diduga memiliki efek
samping lebih ringan daripada azathioprine, maka obat ini telah menggantikan
azathioprine sebagai obat pilihan pertama untuk pengobatan pasien ini.
Pemfigus
vulgaris lokal awal dapat diterapi dengan prednison dosis relatif rendah
(misalnya 40 mg) baik diberikan sejak awal 2 hari sekali atau cepat diturunkan
secara perlahan hingga dosis 2 hari sekali, seringkali bersama dengan obat
immunosupresif. Keputusan untuk memberi obat immunosupresif pada pasien muda
harus memperhatikan potensi meningkatnya insidens keganasan yang mungkin
terjadi akibat pemberian obat ini dan risiko infertilitas (terutama akibat
cyclophosphamide) dan teratogenitas. Pada sebagian pasien, terutama mereka yang
berusia lanjut dengan penyakit masih terbatas atau mereka yang memiliki
kontraindikasi dengan pemberian glukokortikoid, maka dapat diberikan obat
imunosupresif saja. Karena pasien bisa meninggal karena komplikasi terapi, maka
penting untuk memonitor semua pasien secara ketat kemungkinan efek samping,
seperti infeksi; diabetes; leukopenia; trombositopenia; anemia; penyakit ulkus
gastrointestinal, dan perdarahan, abnormalitas fungsi hati dan ginjal, tekanan
darah tinggi, gangguan keseimbangan elektrolit, dan osteoporosis.
Ada
beberapa terapi inovasi lain yang biasanya diberikan jika terapi standard tidak
efektif. Misalnya, pemberian pulse intravena methylprednisolone 250 – 1000 mg
dalam 3 jam setiap 24 jam selama 4 – 5 hari berturut-turut, dapat menghasilkan
remisi jangka panjang dan menurunkan dosis total glukokortikoid yang dibutuhkan
untuk mengontrol penyakit. Meski tujuan terapi ini adalah menurunkan insidens
komplikasi akibat penggunaan steroid jangka panjang, namun bisa terjadi
komplikasi glukokortikoid yang biasa muncul, seperti aritmia jantung dan
anafilaksis, dan pemberian obat ini masih menjadi kontroversi. Pulse therapy
cyclophosphamide intravena, dengan atau tanpa pulse therapy glukokortikoid,
juga dilaporkan dapat menghasilkan remisi pemfigus vulgaris. Pulse
cyclophosphamide, yang diberikan secara intravena, dianggap dapat menurunkan
dosis harian yang dibutuhkan sehingga akan menekan efek samping yang muncul.
Plasmapheresis
adalah terapi lain untuk pemfigus yang parah, terutama jika penyakit ini tidak
responsif terhadap kombinasi prednison dan obat immunosupresif. Meski satu
penelitian dengan kontrol menemukan kalau terapi ini tidak efektif, namun
penelitian lain menemukan kalau terapi ini dapat menurunkan kadar autoantibodi
pemfigus yang ada didalam serum dan mengontrol aktivitas penyakit. Agar
diperoleh efektivitas maksimal, mungkin perlu melakukan plasmapheresis pada
pasien yang tengah meminum obat immunosupresif untuk mencegah rebound
phenomenon antibodi yang bisa terjadi setelah IgG hilang. Pendekatan kreatif
lain adalah melalukan plasmapheresis dan pulse therapy cyclophosphamide secara
bersamaan agar dihasilkan sitotoksisitas maksimal karena mungkin terjadi proliferasi
klone sel B patogenik akibat hilangnya umpan balik negatif IgG pada produksi
antibodi. Kendati demikian, apakah pendekatan ini lebih baik daripada hanya
menerapkan plasmapheresis pada pasien yang terus mendapat obat immunosupresif
masih belum diketahui.
Metode
lain untuk menekan produksi autoantibodi adalah pemberian gamma globulin
intravena. Pendekatan ini mungkin tidak efektif pada pemfigus jika dilakukan
sebagai terapi tunggal, namun akan memberi manfaat sebagai terapi adjuvant pada
kondisi yang gagal memberi respon terhadap terapi yang lebih konvensional.
Terapi
potensial lain untuk pemfigus, yang jarang dilakukan daripada terapi yang telah
disebutkan di atas, antara lain terapi immunoablatif tanpa mempertahankan sel
stem; pemberian cyclosporine, emas, antimalaria, atau dapsone; dan
fotokemoterapi ekstrakorporal.
Secara
keseluruhan, telah dicapai kemajuan yang sangat besar dalam berbagai terapi
untuk pemfigus vulgaris sejak sebelum penemuan glukokortikoid, di mana pemfigus
vulgaris merupakan penyakit yang mematikan.
* * * * *
DAFTAR PUSTAKA
1.
Arnold, H.L, Odom. R.B, James, W.D, Andrews Diseases of
the skin. Clinical Dermatology, eight edition, 534-559 (W.B Saunders Company,
Philadelphia, 1990)
2.
Benny E. Wiryadi. Dalam : Djuanda. A, Hamzah M, Aisahs, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima,
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007 : 204-209
3.
Karlosentono H. Dalam : Harahap M, editor. Ilmu
Penyakit Kulit, Jakarta: Hipokrates, 2000 : 134-138
4.
Siregar R : Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit
edisi kedua, Jakarta: EGC, 2004 : 186-193
5.
Stanley R. Dalam : Freedberg. M, Eisen. Z, Wolff. K,
Austen. F, Goldsmith. A, Katz. I, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine, vol 1; sixth edition……………………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar