Berbicara tentang cinta maka setiap orang
pasti akan menganggukkan kepala dan kemudian menggeleng. Anggukan
kepala pertama adalah isyarat yang diberikan untuk menyatakan “Oh ya,
aku pernah mengalaminya”. Setelah itu, ia akan menggeleng karena
walaupun sudah berkali-kali jatuh cinta, ia masih tidak mengerti
gejala-gejalanya. Ya, memang benar, seperti sebuah lirik lagu “jatuh
cinta berjuta rasanya”, gejala jatuh cinta memang memberikan makna
sangat luas, berbeda-beda pada setiap orang, bahkan dapat saja
bervariasi pada seseorang dalam kesempatan yang berlainan. Di satu sisi,
seseorang yang jatuh cinta dapat menjadi lebih percaya diri, lebih kuat
atau lebih berani. Namun, di sisi lain, cinta dapat membuat seorang
atlet angkat besi menjadi lemas dan tak mampu bahkan mengangkat badannya
sendiri, atau membuat seorang pembicara profesional dapat tiba-tiba
kelu lidahnya dan tidak mampu menghasilkan kata apapun. Seorang ahli
biokimia molekuler mungkin tidak lagi melihat urutan basa nitrogen
penyusun DNA sebagai A, T, G, dan C, tapi menjadi urutan C, I, N, T, dan
A yang berulang-ulang dalam tiap intron dan ekson. Begitulah memang
cinta, membuat banyak hal menjadi irasional.
Lalu, pertanyaan-pertanyaan mulai muncul.
Apakah ada penjelasan rasional dari cinta? Mengapa seseorang bisa jatuh
cinta? Biokimia mencoba menjawab sebagian dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut.
Secara biokimia, rasa cinta berhubungan dengan suatu hormon yaitu norepinephrin. Norepinephrin
merupakan senyawa turunan feniletilamin yang dihasilkan oleh medula
adrenal, yaitu merupakan perpanjangan dari sistem saraf parasimpatik
yang terdapat di otak. Norepinephrin dibentuk melalui tiga tahap
dari prekursornya berupa asam amino tirosin. Tahap pertama yaitu
hidroksilasi tirosin membentuk dopa. Tahap kedua yaitu dekarboksilasi
dopa membentuk dopamin. Tahap ketiga yaitu hidroksilasi rantai samping
dopamin menghasilkan norepinephrin (Gambar 1).
Norepinephrin bekerja dengan cara terikat pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel-sel hati. Pengikatan antara norepinephrin dan reseptor tersebut memicu terbentuk cAMP sebagai second messenger
di dalam sel. Banyak hal yang dipengaruhi oleh cAMP tersebut. Salah
satu diantaranya adalah memicu terjadinya reaksi kaskade yang pada
akhirnya mengaktifkan protein kinase A (PKA). Protein kinase A tersebut
secara langsung ataupun tidak, akan memfosforilasi berbagai protein
salah satunya enzim glikogen fosforilase. Enzim ini menyebabkan glikogen
terfosforilasi dan aktif untuk dihidrolisis menghasilkan
glukosa-1-fosfat. Glukosa-1-fosfat dapat diubah oleh sel-sel lain
melalui glikolisis untuk menghasilkan energi dalam bentuk ATP (Gambar
2). Diduga, hal inilah yang menyebabkan orang-orang yang jatuh cinta
memiliki energi yang lebih banyak dibandingkan orang yang tidak jatuh
cinta.
Norepinephrin dan hormon turunannya seperti epinephrin
juga diketahui dapat memicu kontraksi jaringan otot, baik itu otot
rangka atau otot jantung melalui mekanisme serupa. Hal ini mungkin
sedikit menjelaskan mengapa pada beberapa orang yang jatuh cinta
tiba-tiba jantungnya berdetak kencang dan lidahnya menjadi kelu saat
berbicara.
Dalam beberapa penelitian lebih lanjut, pemberian norepinephrine
pada beberapa penderita depresi dalam dosis tertentu dapat menyebabkan
60% penderita dapat terlepas dari depresi. Penderita juga mengalami
perbaikan dalam hal energi, konsentrasi dan mood. Orang yang jatuh cinta secara alami akan meningkatkan produksi norepinephrine di dalam tubuh. Norepinephrine ini dapat bertindak sebagai neurotransmitter yang memberikan efek serupa dengan narkotika. Norepinephrine menyampaikan pesan bahagia di otak. Hal ini menyebabkan terbentuknya senyum di wajah orang-orang yang sedang jatuh cinta.
*Dikutip dari berbagai sumber
*Membutuhkan masih banyak penyempurnaan
Written by: Rizmahardian Ashari Kurniawan
© copyright 2011. All Rights Reserved
Tidak ada komentar:
Posting Komentar