Apa Itu Efusi Pleura

EFUSI  PLERA
dr. Slamet Hariadi


PENDAHULUAN

            Plera terdiri dari dua membran yaitu plera parietalis yang menutup permukaan paru dan plera visceralis yang menutup dinding dada bag ian dalam dan diafragma. Keduanya akan bertemu bertemu di hilus paru. Pada domba ,binatang yang anatomi pleranya mirip manusia,permukaan plera visceralis dari satu parunya,termasuk invaginasi ke fissura paru,sama dengan plera parietalis pada salah satu parunya,kurang lebih seluas 1000 cm2 . Ruang antar plera normal jaraknya akan berkisar antara 18-20 µm. Jadi rongga antar plera betul2 ada dan kedua plera tak saling bersentuhan.
         
FUNGSI RUANG PLERA

            Fungsi rongga antar plera adalah supaya gerakan gerak paru relatif lebih besar dari dinding dada. Apabila kedua plera saling lekat maka gerak paru waktu inspirasi dan ekspirasi tak akan bebas. Akan tetapi pada klinis dan penelitian perlekatan itu tak akan banyak mempengaruhi faal paru. Sebagian besar peneliti membuktikan bahwa pengarunya hanya pada satu sisi paru,hanya sebagian kecil yang membuktikan bahwa perlekatan plera pada satu sisi akan mempengaruhi faal paru yang kontra lateral..Apabila didapat penebalan plera pada perlekatan plera ,kelainan paru libih terpengaruh oleh penebalan pleranya dibanding dengan perlekatan plera.
            Plera visceralis akan merupakan suport mekanis paru sehingga mempwengaruhi bentuk paru serta membatasi ekspansi paru serta membantu ekspirasi paru. Oleh karena jaringan ikat dibawah mesotel berhubungan dengan parechim paru ,plera visceralis membantu distribusi tekanan negatip plera keseluruh paru. Selain itu dihindari adanya alveoli yang dekat plera akan menjadi overdistended sehingga dicegah timbulnya pnemotorak.
            Ruang antarplera merupakan jalan keluar dari edema paru. Pada penelitian menujukkan bahwa pada kenaikan tekanan hidrostatik atau perubahan permiabilitas membran ,edema parunya akan dicegah dengan adanya ruang antar plera. Pada dekompensasi jantung akan terjadi efusi plera untuk mengeluarkan cairan dari edema paru sehingga pengaruhnya pada faal paru lebih kecil.

EMBRIOLOGI DAN ANATOMI

            Rongga plera,rongga pericard, dan rongga peritonium terbentuk dari mesoderm dimulai pada 3 minggu kehamilan.  Yang menarik perhatian adalah membesarnya rongga plera tak tergantung dari pertumbuhan paru. Pada minggu ke 9 rongga plera terpisah dari rongga pericard dan rongga peritonium. Bisa terjadi kista ,divertikula dan defek pada saat pemisahan rongga tadi. Pada waktu ini terjadi invaginasi dari lung bud  ke plera visceralis sehingga nantinya paru tertutup plera visceralis.
            Membrane plera akan menjadi penutup paru yang halus mengikuti gerakan paru.. Membran plera terdiri dari selapis sel mesothel. Sel ini bisa berbentuk  cuboidal atau columnar  tergantung dari  penarikan jaringan dibawah mesothel.  Sel mesothel ini merupakan sel terbanyak di plera dan memberikan peranan pada biologi plera. Mesothel mengeluarkan komponen makromolekul  dari matrik diluar sel dan mengorganisasinya menjadi matrik yang matang.Juga bisa melakukan fagositosis,mengeluarkan fibrinolitik dan faktor procoagulan serta mengeluarkan faktor chemotaktik untuk neutropil dan monosit yang menimbulkan reaksi radang di plera. Pada plera permukaannya terdapat mikrovili yang distribusinya tak merata. Pada plera visceralis jumlahnya lebih banyak dibanding pada plera parietalis,sedang di bagian caudal lebih padat dari bagian cranial. Mikrovili akan membuat permukaan yang berfungsi metabolik menjadi lebih luas ,akan tetapi fungsinya sendiri tak jelas. Mesothel menghasilkan hyaluronan tapi bukan mucin,mikrofilamen nya menunjukkan keratin,sedang pengecatan dengan epithelial spesific antibodies ( Ber-EP4,B72.3,Leu.M1 dan CEA) negatip, tanda ini berguna dalam pemeriksaan histochemical  maupun imunohistochemical  sel yang didapat dalam cairan plera.
            Sel terletak pada basement membrane tipis penutup jaringan  penghubung  yang terdiri dari collaagen dan elastin. Plera parietalis tebalnya lebih rata dari pada plera visceralis. Plera visceralis yang paling tipis didapat pada bagian craanial sedang yang paling tebal didapat pada bagian caudal. Pada manusia plera visceralis mendapat peredaran darah dari percabangan arteri bronchialis. Pada plera visceralis lebih banyak mengandung collagen dibanding  elastin.
Peredaran darah :

            Plera parietaaalis mendapaat peredaran darah dari arteri intercostalis,sedaaangkan plera visceralis mendapaat darah dari arteri bronchialis.
Saluran Lymphe :

            Pemberian partikel karbon pada rongga plera kambing akan menunjukkan bahwa reabsobsinya kearah plera parietalis.  Plera visceralis banyak mengandung saluran lymphe tapi tak ada hubungan dengan rongga plera. Hubungan antara rongga plera dengan plera parietalis melewati stoma dengan garis tengah 8 – 10 μm yang terjadi mesothelium dari plera parietalis bersatu dengan endothel saaluran lymphe. Stoma bisa dilewati paartikel yang seukuran dengan sel darah merah. Dari stoma cairan akan masuk ke lacunae ( submesothel yaang berbentuk seperti laba laba ) keemudiaan ke saluran lymphe dibawaah costa dan seterusnya ke kelenjar lymphe para sternal  dan periaaortic sebelum maasuk ke pembuluh darah vena .
            Sel lymphoid terletaak sepanjang mediaastinum berupa sel mesothel yaang membentuk struktur yang disebut Kampmeier’s focci. Foci ini berfungsi dalam imunologi.
Persarafan:

 

            Hanya pada plera parietalis yang didapatkan saraf sensorik,berasal dari n. intercostaliss  dan n.phrenicus.  Cossta dan diafragma bagian tepi mendapat saraf dari  n.intercostalis, daaan nyeri daari daerah ini akan menjalar ke dinding dada. Bagiaan tengah diafragma mendapat saraf dari n.phrenicus sehingga nyeri dari daerah ini menjalar ke pundak sisi yang sama.

            Plera visceralis tidak mengandung saraf sensorik.

 

 

 

FISIOLOGI RUANG PLERA


Cairan plera normal dan pertukaran protein

1.Tekanan dalam ruang plera lebih rendah dari tekanan dari jaringan interstitial plera. Hal ini bisa menerangkan adanya aliran cairan kedalam rongga plera.
2.Membran plera menahan cairan dan protein . Permeabilitas terhadap protein sangat rendah.
3.Mesothelium tak mempunyai beda potensial  yang semestinya didapat apabila ada transport aktif yang melewati. Cairan plera lebih alkalis dengan bicarbonat yang lebih tinggi dari pada plasma, perbedaan ini tak dipengaruhi oleh mesothelium. 
4.Masuknya cairan ke rongga plera lambat 0.5 ml /jam pada manusia.
5.Kadar protein cairan plera sangat rendah.
6.Cairan plera keluar melewati stoma pada plera parietalis dengan diameter 10-12 μm dan kemudian masuk saluran lymphe plera.

Tekanan rongga plera:

            Alat ukurnya adalah manometer terbuka air dengan pembagian skala 0.5 cm.


            Tekanan rongga plera dalam keadaan biasa (saat expirasi sampai functional residual capacity / FRC )  1 atm – 5 cm H2O dan kesepakatan hanya ditulis – 5 sedangkan pada saat inspirasi maksimal ( total lung capacity /TLC ) – 30.

PATOFISIOLOGI RUANG PLERA

Efusi plera:

            Efusi plera terjadi apabila produksi meningkat minimal 30 kali normal (melewati kapasitas maksimum ekskresi ) dan atau adanya h
an pada absorbsinya.
            Cairan plera :
1.      Eksudat
2.      Eransudat
3.      Chylus
Eksudat protein rasionya dengan plasma  > 0.50 sedangkan lactate dehydrogenase rasionya > 0.60. Sedangkan chylus warnanya putih seperti susu dan mengandung banyak lemak . Eksudat disebabkan oleh karena adanya kerusakan pada capillary bed di paru plera dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini didapat pada keganasan ,infeksi maupun inflamasi.
Transudat bisa disebabkan oleh karena tekanan hydrostatik yang meningkat atau tekanan osmotik yang menurun. Keadaan ini didapatkan pada kegagalan jantung ,
kadar protein yang rendah atau vena cava superior syndrome.
            Absorbsi terhambat oleh karena :
                   1.Obstruksi pada stomata
                   2.Gangguan kemampuan kontraksi saluran lymphe.
                   3.Infiltrasi pada kelenjar getah bening.
                   4.Kenaikan tekanan vena sentral tempat masuknya saluran lymphe.
Efek cairan plera pada faal paru:

            Dalam keadaan jaringan paru normal volume paru akan berkurang sebanyak 1/3 volume cairan plera sedangkan dinding thorak volumenya akan bertambah dengan 2/3 volume cairan.Sedangkan hypoxemia tak terjadi oleh karena ventilasi dan perfusinya menurun seimbang. Hypoxemia kadang akan terjadi setelah dikeluarkan cairannya oleh karena ada perbaikan perfusinya tapi ventilasinya tak membaik.
            Keluhan yang sering ada adalah nyeri plera,batuk dan sesak.  Nyeri plera menunjukkan adanya keradangan pada plera parietalis. Biasanya keadaan ini disertai adanya friction rub yang didapat pada palpasi atau auskultasi.. Batuk disebabkan oleh karena adanya distorsi paru,misalnya oleh karena adanya collaps paru pada pnemotorak. Sesak disebabkan oleh karena otot nafas tidak efisien oleh karena otot nafas teregang oleh pembesaran dinding dada dan otot diafragma yang rendah. Sesak nafas akan segera hilang setelah pengambilan cairan meskipun penambahan volume paru dan oksigenasi nya tak begitu meningkat.

PENATALAKSANAAN EFUSI PLERA:

            Efusi dicurigai pada foto torak yang menunjukkan adanya peningkatan densitas paru dibagian bawah yang membentuk garis dari craniolaterak ke mediocaudal. Cairan bebas akan menempati bagian paru yang terendah yaitu posterior costophrenic sulcus apabila penderitanya berdiri.
Diagnosa banding:
            Penyebab efusi plera sangat banyak lihat daftar dibawah:
    Efusi tansudat :
         Cong heart failure
         Pericardia dis
         Cirrhosis hepatis
         Nephrotic sy
         Peritoneal dialisis
         Myxedema
         Pulmonary emboli
         Sarcoidosis
     Efusi eksudat:
         Neoplastic dis
         Infectious dis  :
         Pyogenic bact inf
         Tuberculosis
         Actinomycosis and  nocrdiosis
         Fungal inf
         Viral inf
         Parasitic inf
         Pulmonary embolism
         Gastrointestinal dis  :
         Esophageal perforation
         Pancreatic disease
         Abscess (intra abd)
         Diaphragmatic hernia
         Post abdominal surg
         Postendosc variceal sclerotheraphy
         Collagen vascular dis  :
         Rheumatoid pleuritis
         SLE
         Drug induced lupus
         Imm.lymphadenopthy
          Sjorgren’s sy
         Churg Strauss sy
         Wegener’s gr.tosis
         Post pericardiectomy
         Post myocard infarct
         Asbestosis
         Sarcoidosis
         Uremia
         Meigs syndrome
         drug induced pleural diseases:
         Nitrofurantoin
         Dantrolene
         Methylsergid
         Bromocriptine
         Procarbacine
         Amiodarone
         Radiotheraphy
         hemothorax/chylothrx
         Yellow nail syndrom
         Trapped lung
         Electric burn
         Urinary tract obstruction
         Iatrogenic injury
DD antara transudat dan eksudate:

            Pada penderita dengan gagal jantung evaluasi cairan plera dikerjakan setelah gagal jantungnya teratasi. Sedangkan pada febris,nyeri dada atau cairan kanan dan kiri tak sama jumlahnya harus segera dievaluasi cairan pleranya.
            Pertanyaan yang harus terjawab pertama kali adalah apakah cairan plera tersebut eksudat atau transudat. Eksudat harus memenuhi paling sedikit satu kriteria :
1.      protein cairan plera / plasma  > 0.50
2.      LDH cairan plera / plasma  >0.60
3.      LDH cairan plera  > 2/3 nilai tertinggi LDH serum tertinggi.
4.      Dalam keadaan yang meragukan bisa diukur perbedaan antara protein plasma cairan plera dan serum . Apabila melebihi 1.2 g% maka cairannya transudat.
5.      Cholesterol dan bilirubin hasilnya tak lebih baik dari kriteria diatas.
Kriteria 1 dan 2 biasanya sudah cukup untuk membedakan antara transudat dan eksudat.
Evaluasi efusi plera jenis eksudat:

            Sifat cairan plera eksudat:

    Apabila  cairan eksudat berbau  busuk  kemungkinan penyebabnya adalah infeksi kuman ( mungkin anaerob ).  Apabila baunya seperti urine kemungkinan ada urinothorak. Eksudat yang kemerahan  harus diperiksa hematokrit nya  dan bila  >50%  kesimpulannya adalah hematotorak.  Apabila hematokrit kuraang dari 1% arti klinisnya tak ada,sedangkan apabila > 1% kemungkinan adalah keganasan,emboli paru atau efusi plera oleh karena trauma.
     Supernatan cairan plera harus diperiksa apabila ada kekeruhaan,cairaan seperti susu atau  mengandung darah. Kekeruhan yang hilaang setelah centrifuge disebabkan oleh adanya sel atau jaringan rusak.  Apabila dengan sentrifuge tetap keruh cairannya adalah chylothorax atau pseudochylothorax. Cylothorax proses penyakitnya akut,plera tak menebal,tak didapat kristal kolesterol serta kadar trigliserid nya melebihi 110 mg%. Pseudochylothorax proses penyakitnya kronis,plera menebal,bis didapaat kristal kolesterol serta trigliseridn pleranya tak meningkat.
            Protein cairan plera:

       Peningkatan protein pada efusi plera kadarnya sangat bervariasi akan tetapi tak bisa dipakai sebagai pedoman diagnostik penyebabnya. Akan tetapi apaabila kadarnya melebihi 5 g% kemungkinan kemungkinan tuberkulosa lebih besar. Kadar protein yang kurang dari 0.5 g% kemungkinan didapat pada urinothorak,peritoneal diaalysis, atau efusi plera yang timbul oleh karena kesalahan pemasangan intavascular catheter.
            Lactate Dehydrogenase ( LDH ) cairan plera :

       LDH menggambarkan permiabilitas membran yang bisa dipakai pedoman untuk
Melihat tingkat inflamasi dari membran tersebut. Dengan kata lain LDH bisa dipakai sebagai sarana evaluasi aktifitaas penyakitnya.  Meskipun demikian LDH tak bisa dipakai sebagai pedoman untuk diagnostik penyebabnya.
            Glukosa cairan plera:

        Kadar glukosa yang rendah disebabkan oleh karena adanya penebalan plera atau kenaikan metabolisme di caairan plera. Kadar gula < 60 mg%  bisa didapatkan pada efusi parapnemoni, keganasan, tuberkulosa, rheuma, hematothorak, paragonimiasis,atau Churg –Straauss syndrome.  Pada penderita parapnemoni efusi plera yang kadar gulanya dibawah 40 mg% harus dipasang tube thoraaakostomi.  Kebanyakan penderita rheuma kadar gula cairaan pleranya dibawah 30 mg%. Akan tetapi pada penderita SLE kadar gula pleraanya lebih besar dari 90 mg%. Pada penderita dengan efusi plera ganas dan kadar glukosa cairan pleranya rendah, biasanya sel ganas dicairan plera positip dan atau hasil biopsi pleranya didapat sel ganas. Pada penderita tersebut biasanya mean survival nya dibawaah 2 bulan.
            Amylase  cairan plera:

       Pemeriksaan amylase sangat berguna untuk mengetaahui penyebab efussi plera eksudat. Peningkatan amylase didapat pada perforasi esophaguss, penyaaakit pankreas dan kegaanasan.  Peningkatan amylase terjadi 2 jam setelah adanya ruptur esophagus.
       Didapat efusi plera sampai 50% pada pankreatitis akut. Pada umumnya gejala utama pankreatitis akut adalah sesak nafas dan nyeri plera. Pada beberapa kasus terjadi hubungan antara pseudo kista di pankreas dengan rongga antarplera sehingga menimbulkan efusi plera kronis tanpa gejala abdomen. Pada efusi plera tersebut sering  dianggap oleh karena malignansi. Kadar amylasenya bisa sangat tinggi yaaaitu > 4000 IU/ml.
            Sel darah putih dan hitung jenisnya pada cairan plera:

         Jumlaah sel darah putih pada cairaan plera mempunyaaai arti diagnosstik yang terbatas.  Apaabila jumlaah sel darah putihnya kurang dari 1000/μl cairaannya adalah transudat dan bila lebih biasanya cairannya eksudate. Apaabila lebih dari 10000/ μl cairannya empyema dan efusi para pnemoni  akan tetaapi bisa juga didapat pada pancreaatitis, emboli paaru serta penyakit kolagen pembuluh darah dan kadang bisa didaaapat pada keganasan serta tuberkulosa.
      Hitung jenis sel darah putih lebih berarti dibanding dengan jumlah sel darah putih cairaan plera. Kelainan akut yaitu pnemoni, emboli paru, pancreatitis, abscess abdomen, dan tb paru tahap awal akan menunjukkan PMN yang dominan,sedangkan pada kelainan kronis misal tb paru akan menunjukkan mononuclear sel yang dominan. Eosinophyl  ≥ 10 %  lebih sering disebabkan oleh karena radang akut tapi tidak bisa menyingkirkan adanya proses tb atau keganasan. Sebagian besar cairan plera dengan banyak eosinophyl biasanya juga didapat darah atau udara. Apabila pada pemeriksaan awal tak didapat eosinophyl tapi pada pemeriksaan berikutnya jadi banyak, kemungkinan disebabkan oleh adanya minimal pnemotorak pada waktu punksi.
      Darah di cairan plera biasanya dikaitkan dengan adanya eosinophyl plera. Pada hemotorak oleh karena trauma eosinophyl didapat pada minggu ke 2. Keadaan tersebut disebabkan oleh karena produksi IL-5 oleh CD4+ T sel di rongga plera. Eosinophyl di cairan plera oleh karena hematotorak ada hubungan dengan eosinophyl di darah. Cairan plera mengandung darah yang timbul oleh karena emboli paru sangat banyak mengandung eosinophyl.
       Penyebab lain dari eosinophyl di plera adalah asbestosis ( 52% ), reaksi obat nitrofurantoin atau dantrolene,paragonimiasis ( khas disertai glukosa rendah,pH rendah dan LDH tinggi),serta Churg Strauss syndrome.
       Mesothel jarang sekali didapat pada efusi plera oleh karena tb hanya 1 dari 65 penderita didapat 1 mesothel dalam 1000 sel. Mesothel juga jarang didapat pada keadaan plera ditutup oleh fibrin misal pada prapnemoni.
       Apabila lebih dari 50% sel darah putihnya adalah lymphocyt penyebabnya adalah tb.
( 94 % dari 94 kasus ). Apabila didapat lymphocyte lebih dari 50 % sel diagnosa tb bisa dipastikan dengan biopsi plera. Membedakan T dan B lymphocyte di plera tak banyak mempunyai arti diagnostik sebab biasanya cairan plera sel lymphocyte nya 70 % T, 10% B dan 20% nul sel. Hanya pada chronic lymphocytic leukemia atau lymphoma  mempunyai arti diagnostik oleh karena pada keduanya tipe selnya sama.
Sitologi pada cairan plera:
      
        Pemeriksaan sitologi dilakukan apabila dengan pemeriksaan lain tetap tak bisa tegak diagnosanya. Sekali pemeriksaan pada keganasan akan mendapatkan sel ganas pada 60% kasus sedang apabila pemeriksaannya diulang beberapa kali bisa meningkat menjadi 90%.  Pada malignant pleural efusion didapatkan 40-87% penyebabnya adalah keganasan. Angka ini dipengaruhi oleh tipe sel. Hodgkin’s dis hanya 25% positip.
         Sel ganas tak hanya didapat pada efusi plera, pada tumor paru stadium 1 yang dilakukan lavage rongga plera 14 % nya didapat sel ganas. Hal ini memperjelas survival rate yang rendah pada operasi tumor paru meskipun stadiumnya rendah.
Cara diagnostik lain pada cairan plera:

    PH dan PCO2
    Test untuk penyakit Collagen pembuluh darah
    Adenosin deaminase
    MRI
    CT angiography
Test invasive untuk menegakkan diagnosa efusi plera:
        FNAB
        Bronchoscopy
        Thoracoscopy
        Open biopsi plera.

Kepustakaan:
     Broaddus,VC and Light RW:
     General principles and diagnostic approach
     Text book of respiratory medicine.Muray and Nadel
     W.B.Saunders London 2000.p 1995 -2012 


Tidak ada komentar: